Contoh Kumpulan Makalah

Contoh Makalah | Tema Tentang Narkoba

Contoh Kumpulan Makalah, pada kesempatan kali ini akan mencoba berbagi informasi mengenai salah satu Contoh Makalah yang berkaitan dengan Bahaya Narkoba.

Contoh Makalah | Tema Tentang Narkoba
Contoh Makalah | Tema Tentang Narkoba


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dengan meningkatnya keprihatinan dan kepedulian masyarakat terhadap masalah penyalahgunaan NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif), masyarakat mengharapkan adanya perhatian dan tindakan nyata dan tegas dari pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut, dan sebaliknya pemerintah juga mengharapkan peran aktif masyarakat untuk bersama-sama menangggulangi masalah tersebut.

Masalah penyalahgunaan NAPZA, merupakan masalah yang harus menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah pada umumnya, dan di bidang kedokteran khususnya, terutama yang menyangkut masalah kejiwaan

1.2 Tujuan

Dengan membuat tugas portofolio tentang NAPZA ini bertujuan untuk memberi pamahaman tentang bahaya NAPZA, ciri-ciri orang yang terkena NAPZA, penyebab orang terkena NAPZA dan cara pencegahannya , baik bagi diri sendiri, teman-teman, guru dan masyarakat.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penulisan tugas portofolio ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata pelajaran SAINS (Kimia) SMP kelas VII, dan juga untuk menambah pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan NAPZA baik bagi diri sendiri dan orang lain.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Obat adalah suatu zat yang dapat mempengaruhi fungsi tubuh manusia, yakni apabila dimasukkan ke dalam tubuh manusia dan menurut petunjuk dokter. Pemakaian berbagai jenis obat-obatan untuk pribadi tanpa ada indikasi dan tidak memiliki tujuan medisdisebut sebagai Penyalahgunaan Zat (drug abuse).

Pada umumnya zat atau obat yang disalahgunakan adalah zat yang termasuk dalam jenis obat psikoaktif (psychoactive drugs), yakni obat yang bisa memberikan perubahan-perubahan pada fungsi mental (perasaan dan pikiran, persepsi tingkah laku, kesadaran) dan juga fungsi motorik penggunanya.

Zat ini memilki potensi untuk menyebabkan ketergantungan, baik psikis maupu fisik, bahkan kedua-duanya.
Salah satu efek yang terdapat pada jenis narkotika dan psikoaktif adalah kemampuannya untuk menimbulkan ketergantungan bagi pemakainya, sehingga zat ini disebut juga dengan zat yang mampu menimbulkan ketergantungan (dependence producing drugs), contohnya :
1. Penekan susunan syaraf pusat misalnya Mandrax, Rohypnol, Magadon, Nitrazepan, Sedatin.


2. Kanabis misalnya Marjuana atau ganja.


3. Narkotika misalnya, morfin, heroin, dan Pethidine.

4. Alkohol misalnya minuman keras.

2.2 Keadaan Khas Remaja


Sebagai peralihan dari masa anak menuju ke masa dewasa, masa remaja merupakan masa yang penuh dengan gejolak dan kesulitan, baik bagi remaja itu sendiri maupun bagi orangtua mereka. Seringkali kesalahpahaman dan bentrokan antara orangtua dan remaja dalam keluarga maupun lingkungan disebabkan karena ketidaktahuan orangtua mengenai keadaan masa remaja anak-anaknya.

Hal tersebut tentunya tidak menolong si anak untuk melewati masa remajanya dengan baik, sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai macam gangguan tingkah laku seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan zat atau gangguan mental lainnya.

Orangtua seringkali dibuat bingung atau jadi tak berdaya saat menghadapi perkembangan anak remajanya. Tentu hal ini menyebabkan gangguan yang diderita anak remaja mereka bertambah parah.

Untuk menghindari hal-hal semacam itu, orangtua harus bisa bersikap yang benar dalam menghadapi anak remaja. Caranya, orangtua harus memahami perkembangan anak remajanya dengan memperhatikan ciri-ciri khusus yang terdapat pada masa perkembangan tersebut. Dengan begitu diharapkan agar kita (yang telah dewasa) mampu memahami perubahan-perubahan yang terjadi pada diri anak atau remaja di sekitar linkungan saat mereka memasuki masa remajanya.

Dengan memahami proses tumbuh kembang anak dari kecil hingga dewasa serta turut dalam membina anak/remaja agar menjadi individu-individu yang sehat baik dari segi perilaku maupun kejiwaannya, tentu berbagai bentuk kenakalan remaja bisa dicegah.


2.3 Berbagai Motivasi Dalam Penyalahgunaan Obat


Motivasi dalam penyalahgunaan zat dan narkotika (NAPZA) ternyata menyangkut motivasi yang berhubungan dengan keadaan individu (motivasi individual) yang mengenai faktor emosional, mental-intelektual, interpersonal dan fisik.

Di samping adanya motivasi individu yang menimbulkan suatu tindakan penyalahgunaan NAPZA, masih ada faktor lain yang mempunyai hubungan erat dengan kondisi penyalahgunaan NAPZA, yaitu faktor sosiokultural. Faktor tersebut menimbulkan tekanan yang besar dalam diri remaja, contohnya :

1. Perubahan teknologi yang begitu cepat.

2. Semakin hilangnya nilai-nilai dan sistem agama serta mencairnya standar moral (hal ini dapat ditanggulangin dangan pembinaan Budi Pekerti – Akhlaq secara rutin dan kontinyu).

3. Pengaruh media massa misalnya iklan-iklan mengenai obat-obatan dan zat.

4. Keadaan ekonomi yang buruk misalnya perbedaan ekonomi etno-rasial, kemiskinan, atau bahkan kemewahan yang membosankan dan sebagainya.

5. Perpecahan dalam keluarga, misalnya perceraian orangtua, keluarga yang terlalu sering berpindah-pindah tempat tinggal, orangtua yang tidak ada/jarang berada di rumah untuk menemani anak-anaknya dan sebagainya.

6. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan atau menganggur.

Faktor-faktor sosial kultural seperti yang telah dipaparkan di atas akan mempengaruhi kehidupan manusia dan bisa menimbulkan motivasi tertentu untuk memakai NAPZA. Pengaruh ini akan terasa lebih jelas pada kelompok usia remaja, karena setelah ditinjau dari sudut perkembangan, remaja merupakan individu yang sangat rentan terhadap berbagai pengaruh yang ada, baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya atau lingkungan.

Yang berpengaruh kuat terhadap remaja terkait dengan NAPZA adalah sekolah, lingkungan pergaulan, dan rumah (keluarga). Yang harus menjadi pusat perhatian dalam membimbing dan mengarahkan remaja adalah sikap dan tingkah laku emosional, mental intelektual, sosial dan serta pembentukan identitas diri. Dan yang paling penting adalah memberi dasar agama dan keimanan yan kuat pada anak sejak dini.


BAB III

METODA


Data dan referensi informasi diperoleh melalui Internet dan buku Kimia SMP kelas VII.



BAB IV
PENYAJIAN DATA
dan
PEMBAHASAN


4.1 Penyajian Data

· Masalah NAPZA di Indonesia mulai timbul kira-kira sejak 26 tahun lalu.
· Masalah NAPZA semakin besar dan meluas sehingga dinyatakan sebagai masalah nasional.

· Berdasarkan penelitan dan pengamatan berbagai pihak didapatkan kesimpulan bahwa kebanyakan mereka yang menyalahgunakan zat atau obat termasuk dalam usia remaja.

Sesungguhnya yang termasuk Narkotika adalah :
· opioida : morfin, heroin, madat, candu dan putaw.
· ganja : ganja, marijuana, gelek dan cimeng.
· kokain : crack, coke.

Yang termasuk Alkohol adalah berbagai jenis minuman keras, seperti wiski, gin, brandi, vodka, arak obat, dll. Yang termasuk psikotropika adalah ecstacy, inez, shabu, pil koplo.Yang termasuk zat adiktif lainnya adalah tembakau,kopi/kafein.


Tampak makin banyak bandar dan pemakai yang tertangkap dan kasus-kasus di rumah sakit pun makin banyak. Apakah usaha pencegahan yang dilakukan selama ini tidak ada gunanya?


Harian Kompas memberitakan, Reserse Narkotik Polres Metro Jakarta Utara beberapa waktu lalu membekuk 20 pelajar sekolah dasar (SD) pengguna narkoba. Bahkan menurut Kepala Satuan Reserse Narkotik Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Bustari, dalam kurun waktu Januari hingga pertengahan Mei tahun ini pihaknya menangkap 30 orang pelajar SD yang terlibat penyalahgunaan narkoba.


4.2 Pembahasan

Penyalahgunaan zat mempunyai hubungan yang kuat dengan masalah ketergantungan zat (drug dependence). Ketergantungan zat adalah suatu kondisi yang memaksa seseorang menggunakan zat tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan mental atau menghindarkan diri dari penderitaan fisik dan mental (gejala ketagihan). Pada keadaan ini seseorang tidak dapat menghentikan pemakaian zat tersebut dan ia dapat mengalami ketergantungan pada satu macam zat saja atau lebih.

Penyalahgunaan NAPZA tidak hanya merugikan kesehatan tetapi juga dapat menimbulkan dampak ekonomi. Selain itu kerugian lain yang ditimbulkan adalah kecelakaan akibat keracunan, produktivitas kerja/sekolah menurun, PHK, berhenti dari sekolah dan krisis moral dikalangan penggunanya.

Pada penderita NAPZA sering terdapat dampak kejiwaan yang menyulitkan penanganan penderita, misalnya gejala prilaku agresif (skizofernia/paranoid), depresif psikotik (keinginan/usaha bunuh diri/orang lain), ketergantungan mental dan ganggguan kepribadian (anti sosial).


NAPZA lebih banyak memberikan dampak negatif, misalnya :

· Praktik suntikan illegal dalam penggunaan NAPZA (heroin) mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyebaran AIDS, karena pada umumnya mereka menggunakan suntikan yang tidak steril dan suntikan itu dipakai secara bergantian. Juga dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah, penyebaran mikroorganisme dalam darah, radang sel pembengkakan paru-paru dan kematian yang disengaja.

· Penggunaan NAPZA (ganja) dapat menimbulkan gangguan kejiwaan psikotik yang ditandai dengan timbulnya paranoid dan halusinasi visual sementara, kekerasan dan rasa panik.

· NAPZA (obat penenang) juga memperbesar kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan progresif, kegagalan fungsi jantung dan turunnya derajat kesadaran sampai koma dan bahkan berakibat kematian.

· Gangguan psikiatris yang menyertai gangguan akibat pemakaian NAPZA (kokain) adalah gangguan kepribadian yang mendasar (anti sosial), timbulnya prilaku manipulatif, ketergntungan alkohol dan obat penenang.

Penyembuhan atau pengobatan ketergantungan zat merupakan suatu hal yang sulit, oleh karena itu maka tindakan pencegahan merupakan upaya yang sangat penting.


Usaha pencegahan baik dari perorangan, keluarga, pemerintah maupun swasta harus lebih ditingkatkan. Untuk mencegah NAPZA beredar bebas, tentu terkait dengan pengawasan pemerintah (bea cukai, POM, dll). Untuk mencegah individu menjadi pengguna perlu disiapkan mental yang kuat bagi individu tersebut untuk bisa membedakn yang baik dan yang buruk, serta mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dipakai atau dilakukan.


Dalam lingkungan keluarga alangkah baiknya jika peran serta anggota keluarga mulai ditingkatkan, dengan jalan :

· Menciptakan keluarga yang harmonis.
· Menjalin komunikasi efektif antara orangtua dan anak.
· Menjalin kerja sama yang baik dengan guru.
· Mengenali perubahan yang timbul pada anak.
· Mempunyai pengetahuan tentang obat, kesehatan, pola tingkah laku remaja.
· Memberi penghargaan yang layak terhadap pendapat dan prestasi yang baik serta menekankan hal-hal yang positif pada anak.
· Membuka pintu rumah untuk kawan-kawannya.
· Memberikan teladan yang baik kepada remaja tentang apa yang baik bagi remaja.
· Tidak mengharapkan/memaksa remaja melakukan sesuatu yang ia tidak mampu atau orangtua juga tidak dapat melaksanakan (tidak dapt menjadi panutan dn teladan).

Masyarakat juga dapat berperan dalam upaya pencegahan penggunaan NAPZA. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat, maka diperlukan :
· Pengadaan ceramah agar menyadari besarnya masalah akibat penyalahgunaan NAPZA.
· Ikut menyediakan dana untuk kegiatan remaja, pusat konsultasi remaja, dll.
· Menjadi relawan di pusat kegiatan remaja.
· Menghimbau pemerintah atau swasta agar mencermati film atau iklan yang dinilai akan memberi pengaruh buruk.
· Menciptakan lingkungan bebas NAPZA dengan saling menjaga warganya agar tidak terpengaruh.


KESIMPULAN


· Dalam masalah NAPZA yang paling penting adalah penanaman pemahaman agama dan iman yang kuat sejak dini, dan pengenalan diri sendiri dari pihak orangtua sebelum mereka mengharapkan remajanya mengenal dirinya.

· Komunikasi antara orangtua dan anak harus selalu terjaga dan sebaiknya orangtua mengenal teman-teman anaknya baik di lingkungan tempat tinggal, di luar rumah maupun sekolahnya.

· Di sekolah juga akan lebih bagus jika diciptakan komunikasi yang baik antar guru, antara guru dan murid, penjaga sekolah dan para pedagang di lingkungan sekolah.

· NAPZA memang patut menjadi musuh utama kita karena akibat yang bisa ditimbulkannya tidak saja merusak kesehatn fisik, psikis dan menyebabkan kematian penggunanya, tetapi juga merusak lingkungan sekitarnya dan dapat menyebabkan timbulnya tindak kekerasan dan kriminal.

· Masalah penyalahgunaan NAPZA dicetuskan karena adanya interaksi antara pengaruh lingkungan dan kondisi psikologis remaja.

· Untuk mengatasi masalah penyalahgunaan NAPZA diperlukan usaha keras dan kerja sama baik dari perorangan, keluarga, pemerintah dan swasta. Lebih baik melakukan pencegahan karena bila sudah terlanjur tekena NAPZA akan lebih sulit untuk menanggulangi dan memberantasnya.

Contoh Makalah | Upaya-upaya Pemerintah dalam menciptakan Good Governance

Upaya-upaya Pemerintah dalam menciptakan Good Governance
Contoh Kumpulan Makalah - Contoh Makalah mengenai Upaya-upaya Pemerintah dalam menciptakan Good Governance
KATA PENGANTAR

            Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan Hukum Administrasi Negara (HAN) yang berjudul “ Upaya-Upaya Pemerintah Dalam Menciptakan Good Governance”, makalah ini membahas tentang informasi Good Governance dan mengkritisi perkembangannya di Indonesia.
            Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan lebih dan bermanfaat bagi para pembaca, kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kat asempurna sehingga kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai kita semua.


                                                                    Garut,    Mei 2021


                                                                        Penulis                                                                                         



Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1
          A.  Latar Belakang.................................................................................... 1
          B.  Identifikasi Masalah.............................................................................. 1
     Bab II Tinjauan Pustaka........................................................................................ 2
     Bab III Pembahasan.............................................................................................. 2
          A.  Pengertian Good Governance............................................................ 2
          B.  Latar Belakang Good Governance......................................................3
          C.  Prinsip-prinsip Dasar Good Governance............................................ 4
          D. Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance.................................... 10
          E.  Good Governance di Indonesia.........................................................13
          F.  Upaya-upaya pemerintah dalam menciptakan Good Governance.....
Bab IV Penutup.................................................................................................. 17
          A. Kesimpulan....................................................................................... 17
          B. Saran................................................................................................. 17
Daftar Pustaka................................................................................................... 19


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang

Tujuan suatu negara tidak lain untuk mewujudkan masyarakat dengan kehidupan yang baik (Good Life), dimana yang terdapat dalam fungsi negara yaitu melaksanakan kepentingan rakyat dengan  norma yang berlaku untuk mewujudkan cita-cita negara. Masyarakat sebagai pelaksana dan tingkatan pemerintah negara sebagai pengelola sumber daya pembangunan. Terjadi berbagai permasalahan seperti krisis ekonomi di Indonesia antara lain menunjukkan tatacara penyelenggara pemerintah dalam mengelola sumber daya pembangunan yang tidak diatur dengan baik. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah yang lain yang menyebabkan masyarakat menjadi terhambat dalam proses pengembangan ekonomi Indonesia, sehingga dampak negative seperti peningkatan penganguran, jumlah penduduk miskin yang bertambah, tingkat kesehatan yang menurun, dan bahkan konflik-konflik yang terjadi diberbagai daerah.
Penyelenggara pemerintah yang baik sangat dibutuhkan yang dimana menjadi landasan pembangunan dan pembuatan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Oleh karena itu tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat diminimalkan , dipecahkan dan juga dipulihkannya segala bidang dalam masyarakat agar dapat berjalan dengan baik dan lancar. Disadari, dalam mewujudkan tata pemerintahan membutuhkan waktu yang tidak singkat dan upaya yang didukung dari segala pihak dan dilakukan secara terus – menerus. Selain itu aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat harus bersatu dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

B. Identifikasi Masalah
1.  Apa pengertian dan latar belakang good governance?
2.  Bagaimana prinsip-prinsip dan konsepsi good governance?
3.  Bagaimana penerapan good governance di Indonesia?

BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA 



A. Pengertian Good Governance

Padanan kata governance dalam bahasa Indonesia adalah penadbiran, yang berarti pemerintahan, pengelolaan (Billah, 2001). Dasar kata penadbiran adalah tadbir, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) berarti perihal mengurus atau mengatur (memimpin/mengelola), pemerintahan, dan administrasi. Sedangkan penadbir berarti pengurus atau pengelola. Kata government dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai pemerintah, dengan demikian sama maknanya dengan penadbir (Sedarmayanti, 2009: 273).

Governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan tersebut. Sedangkan arti good dalam kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung pemahaman:
a. Nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan, kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial.
b. Aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif, efisien dalam pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan (Sedarmayanti, 2009: 274).
c. Kepemerintahan (governance) sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (1993) adalah governance lebih merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut (Sedarmayanti, 2009: 273).
Secara umum, governance diartikan sebagai kualitas hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, private sectors (sektor swasta/ dunia usaha), dan society (masyarakat). Oleh sebab itu, good governance sektor publik diartikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan stakeholders terhadap berbagai kegiatan perekonomian, sosial politik, dan pemanfaatan berbagai sumber daya seperti sumber daya alam, keuangan, dan manusia bagi kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan menganut asas keadialan, pemerataan, persamaan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas (World Conference on Governance, UNDP, 1999 dalam Sedarmayanti, 2007: 2).

Sedangkan OECD dan World Bank mengartikan good govenance sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi secara politik dan administratif, menjalankan disiplin anggaran serta menjalankan kerangka kerja politik dan hukum bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan (Sedarmayanti, 2009: 273).


B. Aktor-aktor Good Governance

Aktor-aktor good governance menurut Sedarmayanti (2009: 280), antara lain:
1. Negara/pemerintah: konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatankegiatan kenegaraan, tetapi labih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masayarakat madani. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Dalam kaitannya dengan bidang pendidikan, pemerintah dan dinasdinas yang berkaitan seperti dinas pendidikan. Negara sebagai salah satu unsur governance, di dalamnya termasuk lembaga politik dan lembaga sektor publik. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.
2. Sektor swasta: pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan perdagangan, perbankan, koperasi termasuk kegiatan sektor informal. Dalam bidang pendidikan, sektor swasta meliputi yayasan-yayasan yang mengelola sekolah swasta.
3. Masyarakat madani: kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan ada yang dinamakan Dewan Pendidikan yang merupakan lembaga independent yang memiliki posisi sejajar dengan Bupati/ Walikota dan DPRD.

Good governance memungkinkan adanya kesejajaran peran antara ketiga aktor di atas. Sebagaimana dalam pengembangan kapasitas good governance, ada yang disebut dengan perubahan dalam distribusi kewenangan yaitu telah terjadi distribusi kewenangan yang tadinya menumpuk di pusat untuk didesentralisasikan kepada daerah, masyarakat, asosiasi dan berbagai kelembagaan yang ada di masyarakat. Artinya saat ini pemerintah bukanlah satu-satunya aktor dalam pengambilan keputusan, masyarakat dan juga pihak swasta pun berkesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.

C. Prinsip-Prinsip Good Governance

Kepemerintahan yang baik menurut UNDP (1997) mengidentifikasi lima karakteristik yaitu:
a. Interaksi, melibatkan tiga mitra besar yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat madani untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya ekonomi, sosial, dan politik.
b. Komunikasi, terdiri dari sistem jejaring dalam proses pengelolaan dan kontribusi terhadap kualitas hasil.
c. Proses penguatan sendiri, adalah kunci keberadaan dan kelangsungan keteraturan dari berbagai situasi kekacauan yang disebabkan dinamika dan perubahan lingkungan, memberi kontribusi terhadap partisipasi dan menggalakkan kemandirian masyarakat, dan memberikan kesempatan untuk kreativitas dan stabilitas berbagai aspek kepemerintahan yang baik.
d. Dinamis, keseimbangan berbagai unsur kekuatan kompleks yang menghasilkan persatuan, harmoni, dan kerja sama untuk pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan, kedamaian dan keadilan, dan kesempatan merata untuk semua sektor dalam masyarakat madani.
e. Saling ketergantungan yang dinamis antara pemerintah, kekuatan pasar, dan masyarakat madani.
Lima karakteristik dalam good governance mencerminkan terjadinya proses pengambilan keputusan yang melibatkan stakeholders dengan menerapkan prinsip good governance yaitu partisipasi, transparansi, berorientasi kesepakatan, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas, serta visi dan misi. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (LAN) (2003) mengungkapkan prinsip-prinsip good governance  antara lain yaitu akuntabilitas, transparansi, kesetaraan, supremasi hukum, keadilan, partisipasi, desentralisasi, kebersamaan, profesionalitas, cepat tanggap, efektif dan efisien, dan berdaya saing. Mustopadidjaja (1997) mengatakan prinsip-prinsip good governance adalah demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabiiltas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, dan konsistensi kebijakan dan kepastian hukum (Sedarmayanti, 2009:282-287).
Jumlah komponen ataupun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsipprinsip utama yang melandasi good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi (Sedarmayanti, 2009:289).

D. Kendala Mewujudkan Good Governance

Upaya perbaikan sistem birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas dalam mencari solusi perbaikan. Demikian pula masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktik KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara merupakan cerminan kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan. Banyaknya permasalah birokrasi tersebut belum sepenuhnya teratasi, baik dari sisi internal maupun eksternal (Sedarmayanti, 2009: 310-311).

Dari sisi internal, faktor demokrasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik, meningkatnya tuntutan penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas, dan kualitas kinerja publik serta taat hukum. Secara khusus dari sisi internal birokrasi, berbagai permasalahan masih banyak yang dihadapi, antara lain pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan, dan banyaknya praktik KKN. Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi (e-government) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, baik, dan berwibawa. Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat (Sedarmayanti, 2009: 310-311).

Selain itu, problem demokrasi dari segi lembaga dan perilaku individu masih muncul. Rakyat masih belum merasa terwakili oleh keberadaan wakilnya di DPR(D) karena partisipasinya hanya pada saat pemilu, setelah itu rakyat ditinggal dalam proses pengambilan kebijakan. Rendahnya partisipasi dalam masyarakat mengurangi tingkat legitimasi pemerintah sehingga munculnya pemerintahan yang kuat ditingkat lokal maupun pusat masih dalam cita-cita (Nugroho, 2001 dalam Sedarmayanti, 2009: 311).

BAB III
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Good Governance

Good Governance sebagai kriteria Negara-negara yang baik dan berhasil dalam pembangunan, bahkan dijadikan semacam kriteria untuk memperoleh kemampuan bantuan optimal dan Good Governance dianggap sebagai istilah standar untuk organisasi publik hanya dalam arti pemerintahan. Secara konseptual “good” dalam bahasa Indonesia “baik” dan “Governance” adalah “kepemerintahan”. Menurut LAN (Lembaga Administrasi Negara) dalam Sedarmayanti(2008:130) mengemukakan arti good dalam good governance mengandung dua arti:

1. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan / kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.
2. Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli dalam memahami arti good governance:

1.  Robert Charlick dalam Pandji Santosa (2008:130) mendefinisikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan atau kebijakan yang baik demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.
2. Bintoro Tjokroamidjojo memandang Good Governance sebagai “Suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agent of change dari suatu masyarakat berkembang atau  develoving didalam negara berkembang” efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domaindomain negara, sektor swasta, dan masyarakat[1].
3. Menurut Bank Dunia (World Bank), Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009).

4.  Menurut UNDP (United National Development Planning), Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu[2]:
a. Kesejahteraan rakyat (economic governance).
b. Proses pengambilan keputusan (political governance).
c. Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009).

Berdasarkan uraian pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.

B. Latar belakang Good Governance

Lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam praktek pemerintahan,seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)[3].

Penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat tidak transparan, nonpartisipatif serta sentralisasi , menumbuhkan rasa tidak percaya dikalangan masyarakat bahkan menimbulkan antipati terhadap pihak pemerintah. Masyarakat sangat tidak puas terhadap kinerja pemerintah yang selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Berbagai ketidakpuasan dan kekecewaan akhirnya melahirkan tuntutan dari masyarakat untuk mengembalikan dan melaksanakan penyelenggaraan pemerintah yang ideal, sehingga Good Governance tampil sebagai upaya untuk menjawab berbagai keluhan masyarakat atas kinerja birokrasi yang telah berlangsung.

C.Prinsip-prinsip Dasar Good Governance

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari[4]:

1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5. Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
6. Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian.

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Good governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep  dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen profesionalnya maka diterapkan good corporate governance. Sehingga dikenal prinsip- prinsip utama dalam governance korporat yaitu: transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas dan responsivitas.[5]

Transparansi bukan berarti ketelanjangan, melainkan keterbukaan, yakni adanya sebuah sistem yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat ke atas. Dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dam dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewan komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara finansial. Fairnessagak sulit diterjemahkan, karena menyangkut keadilan dalam konteks moral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.[6]

Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika  korporat, termasuk dalam hal ini etika professional dan etika manajerial.

Prinsip-prinsip Good Governance di atas cenderung kepada dunia usaha, sedangkan bagi suatu organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut UNDP melaui LAN yang dikutip Tangkilisan (2005:115) menyebutkna bahwa adanya hubungan sinergis dan kontruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat disusun sembilan pokok karakteristik Good Governance yaitu[7]:

1. Partisipasi (Participation)
Setiap warga Negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun melalui   intermediasi   institusi   legitimasi   yang   mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2. Penerapan Hukum (Fairness)
Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.

3. Transparansi (Transparency)
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4. Responsivitas (Responsiveness)
Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.

5.  Orientasi (Consensus Orientation)
Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda  untuk memeproleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

6.  Keadilan (Equity)
Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Efetivitas (Effectivness)
Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunkan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8.  Akuntabilitas (Accountability)
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, secor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan lembaga-lembaga stakeholder. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan atau eksternal organisasi.

9.  Strategi Visi (Strategic Vision)
Para pemimpin dan public harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Prinsip-prinsip di atas adalah merupakan suatu karakterisitik yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan control dan pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar cara dan penggunaan cara sungguh-sungguh mencapai hasil yang dikehendaki shareholders.

Masyarakat menyelenggarakan Pemilu untuk menentukan siapa yang menyelenggarakan Negara dan itu adalah pemerintah. Pemerintah adalah ibarat manajer professional yang disewa oleh rakyat untuk menyelenggarakan organisasi negara untuk sebesar-besarnya kemanfaatan rakyat. Penerapan good governance kepada pemerintah adalah ibarat masyarakat mamstikan bahwa mandate, wewenang hak da kewajibannya telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa arah ke depan dari good governance adalah membangun the professional government, bukan dalam arti pemerintah yang dikelola oleh para teknokrat. Namun oleh siapa  saja yang    mempunyai kualifikasi professional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang mampu mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dan dalam melaksanakannya berlandaskan etika dan moralitas yang tinggi.

Berkaiatan dengan pemerintah yang dikelola siapa saja yang mempunyai kualifikasi professional mengarah kepada kinerja SDM yang ada dalam organisasi publik sehingga dalam penyelenggaraan good governance didasarkan pada kinerja organisasi publik, yakni responsivitas (responsiveness), responsibilitas (responsibility), dan akuntabilitas (accountability).

Reponsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program- program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat[8].

Berdasarkan pernyataan Tangkilisan di atas maka disebutkan bahwa responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik, maka kinerja organisasi tersebut akan dinilai semakin baik. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan suatu organisasi public dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang sangat rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek.

Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan yang implisit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi public itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi dan peraturan serta kebijaksanaan oraganisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik. Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat poltik dan kegiatan organisasi publik tunduk pada pejabat poltik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa  para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik  dinilai baik apabila seluruhnya atau setidakanya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak tindak lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik maka kinerja organisasi tersebut dinilai semakin baik.

Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi public atau pemerintah seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi public memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berekembang dalam masyarakat.

Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu[9] :

1.Partisipasi (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif.

2. Penegakan Hukum (rule of law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut :
a. Supremasi hukum
b. Kepastian hukum
c. Hukum yang responsitif
d. Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif
e.Independensi peradilan

3.Transparansi (transparency)
Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu :
a. Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan
b. Kekayaan pejabat publik
c. Pemberian penghargaan
d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
e. Kesehatan
f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
g.Keamanan dan ketertiban
h.Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat

4. Responsif (responsive)
Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat-masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.

5. Konsesus (consesus)
Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semuakomponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.

6. Kesetaraan (equity)
Clean and good governance juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya.

7. Efektivitas dan efisiensi
Konsep efektivitas  dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial.

8. Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan  tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara.

9. Visi Strategis
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan  tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.

Sepuluh Prinsip Good Governance menurut KNKG adalah[10] :

1. Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2. Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
3.Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para penyelenggaraan pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
4.Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggaraan pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya terjangkau.
5.Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal & bertanggung jawab.
6. Transparasi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi.
7. Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
8. Wawasan ke depan: Membangun daerah berdasarkan visi & strategis yang jelas & mengikuti-sertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
9. Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung mapun tidak langsung.
10. Penegakkan Hukum: Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

D.  Mengkritisi Pelaksanaan Good Governance

Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan, dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapaai good governance adalah adanya trasparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan Negara yang baik maka harus ada keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan[11]. Konsep good governance dapat diartikan acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan social ekonomi yang baik.
Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuahideal type of governance, padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya, menurut Purwo Santoso (2002), adalah democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini secara substantif tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja ia tidak memasukkan dimensi pasar dalam governance.

Kritik berikutnya terhadap good governance adalah kegagalannya dalam memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, secara kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Secara konseptual keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia akan selayaknya juga dibarengi dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat. Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance tidaklah seindah teori. Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Pukulan krisis pangan adalah bukti konkrit yang tidak bisa dipecahkan oleh good governance.

Bila kita memahami kembali kutipan bahwa Presiden Tanzania Julius K. Nyerere di depan Konferensi PBB sepuluh tahun lalu, beliau dengan lantang telah mengkritik habis-habisan good governance yang dikatakannya sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good governance hanya akan mengerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Terlepas dari benar salahnya kritik sang Presiden, kritik tersebut mengilhami Ali Farazmand (2004) dalam menggagas konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan. Setelah good governance berhasil menginklusifkan hubungan si kaya dan si miskin di tingkat nasional, maka fase berikutnya adalah menginklusifkan hubungan negara kaya dengan negara miskin melalui agenda Sound Governance. Konsep Sound Governance merupakan konsep baru yang jauh lebih komprehensif dan reliable dalam menjawab kegagalan epistimologis dan solusi atas arus besar kesalah kaprahan dari good governance. Terdapat tiga alasan utama yang muncul dari wacana Sound Governance.

 Pertama, dari evaluasi terhadap pelaksanaan good governance bahwa aktor kunci yang berperan adalah terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good governanceselama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik. Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor, yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional.[12]

Kedua, bermula dari kritik terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term “good” dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan justru mengedepankan adanya penghormatan atas keragaman konsepsi birokrasi dan tatapemerintahan, utamanya nilai dasar budaya pemerintahan tradisional yang telah terkubur. Ali Farazmand mencontohkan kebesaran kerajaan Persia, sebelum digulung oleh dominasi budaya barat, memiliki prestasi yang sangat besar dalam pengelolaan pemerintahan[13]. Berdasarkan apa yang disampaikan Ali Farazmand bahwa pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia (Andi,2007). Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan.

Ketiga, dalam pelaksanaan good governance untuk berjalannya proses tata pemerintahan yang baik maka ada satu jalan yaitu bagaimana pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance yaitu: participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound Governancemempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Kendati demikian di dalam sound governance masih menekankan perlunya prasyarat-prasyrat dasar universal terkait demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Untuk itu titik tekan dari sound governance adalah fleksibilitas dan ini dibutuhkan “inovasi” yang kemudian menjadi ruh implementasi sound governance dalam praktek pemerintahan.

Berdasarkan uraian diatas bahwa Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni term “good” oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain ituSound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal. Tentu ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan[14].


E. Good Governance di Indonesia

Pada awal 2007, Komite Nasional Kebijakan Governance telah menyempurnakan Pedoman Umum Good Coorporate Governance(GCG) dan merintis pembuatan Pedoman Good Public Governance(Combined Code) yang pertama di Indonesia, dan mungkin bahkan di dunia. Ini merupakan sebuah terobosan dan bukti kepedulian terhadap penciptaan kondisi usaha yang lebih baik dan menjanjikan di Indonesia jika diterapkan dengan konsisten. Pemerintah melalui perangkatnya juga terlihat melakukan banyak pembenahan untuk memperbaiki citra pemerintah dan keseriusannya dalam meningkatkan praktik good public governance, melalui pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian telah cukup banyak temuan dan kasus yang diangkat ke permukaan dan diterapkan enforcement yang tegas[15].
Indonesia di tengah dinamika perkembangan global maupun nasional, saat ini menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian serius semua pihak. Good governance atau tata pemerintahan yang baik, merupakan bagian dari paradigma baru, yang berkembang dan, memberikan nuansa yang cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi, seiring dengan tuntutan era reformasi. Situasi dan kondisi ini menuntut adanya kepemimpinan nasional masa depan, yang diharapkan mampu menjawab tantangan bangsa Indonesia mendatang. Perkembangan situasi nasional dewasa ini, di cirirkan dengan tiga fenomena yang dihadapi, yaitu[16]:

1. Permasalahan yang semakin kompleks (multidimensi )
2. Perubahan yang sedemikian cepat (regulasi kebijakan dan aksi-reaksi masyarakat)
3. Ketidakpastian yang relatif tinggi (bencana alam yang silih berganti, situasi ekonomi yang tidak mudah di prediksi, dan perkembangan politik yang up and down).

Kesenjangan proses komunikasi politik yang terjadi di Indonesia antara pemerintah dan rakyatnya, maupun partai yang mewakili rakyat dengan konstituennya menjadikan berbagai fenomena permasalahan sulit untuk di pahami dengan logika awam masyarakat, seperti[17]:
1. Indonesia kaya raya potensi Sumber Daya Alam(SDA), mengapa banyak yang miskin?
2.  Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan naik drastis dalam tiga tahun terakhir ini, dari 23 trilyun (2003) menjadi 51 trilyun lebih (2007), mengapa jumlah penduduk miskin justru meningkat dari 35,10 juta (2005) menjadi 39,05 juta (2006) ? Bukankah bila anggarannya di tambah dengan tujuan untuk menanggulangi kemiskinan, jumlah penduduk miskin seharusnya dapat berkurang.
3. Berikutnya, produksi pertanian konon surplus (meningkat) 1,1 juta dan bahkan kita oernah berswasembada pangan. Mengapa harga beras membumbung tinggi? Mengapa harus import terus? Semua ini membuat masyarakat pusing tujuh keliling karena tidak memahami kebijakan nasional.

Komunikasi politik ke bawah, secara efektif belum terjadi, sehingga hanya mengandalkan informasi dari berbagai media massa dengan variatif dan terkadang bisa berbau provokatif. Dalam situasi masyarakat seperti itu (kebingungan informasi), masyarakat tak tahu apa itu good governance.
Sekalipun pemerintah berusaha gencar memasyarakatkannya, namun proses dan cara yang salah dalam berkomunikasi justru akan di sambut dengan apatisme masyarakat. Dalam situasi masyarakat yang sedang belajar berdemokrasi, komunikasi politik yang transparan, partisipasi, dan akuntabilitas kebijakan publik menjadi sangat penting. Ini artinya, good governance menemukan relevansinya.
Laporan Global Competitiveness Report yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (WFF) yang menganalisis daya saing ekonomi dengan pendekatan, yakni pendekatan pertumbuhan ekonomin (OCI) dan pendekatan mikro ekonomi (MCI) menunjukkan bahwa peringkata daya saing perekonomian Indonesia (Growth Competitiveness Index) merosot lagi dari urutan ke 64 di tahun 2001 ke urutan 67 (dari 80 negara) di tahun 2002, dan daya saing mikro ekonomi (MCI) turun sembilan tingkat, dari urutan ke 55 menjadi urutan ke 63. Sebelumnya sebuah survey yang dilaporkan pada bulan Juni tahun 2001, yang di lakukan oleh Political and economic Risk consultancy (PERC), menempatkan Indonesia dalam kelompok dengan resiko politik dan ekonomi terburuk di antara 12 negara Asia bersama Cina dan Vietnam. Di lihat dari kebutuhan dunia akan usaha, kepercayaan investor yang menuntut adanya corporate governance berdasarkan prinsip-prinsip dan praktek yang di terima secara Internasional (Internasional Best Practice), maka terbentuknya komite internasional mengenai kebijakancorporate governance, National Comittee on Corporate Governance (NCCG) di bulan Agustus tahun 1999 merupakan suatu tonggak penting dalam sejarah perkembangan Good Governance di Indonesia.
Secara riil, melihat data investasi ke Indonesia selama 2007, ada perkembangan luar biasa, karena realisasi PMA naik lebih dari 100%, dengan nilai realisasi investasi yang menembus US$9 miliar. Namun, penilaian dari lembaga-lembaga internasional sepertinya tidak ada perubahan yang signifikan dalam penerapan good governance secara konsisten. Berdasarkan survei World Bank 2007, ada perbaikan dalam situasi bisnis di Indonesia. Misalnya pada pembentukan usaha baru, Indonesia telah menunjukkan reformasi positif dengan percepatan pemberian persetujuan lisensi usaha dari Departemen Kehakiman dan simplifikasi persyaratan usaha.
Selain itu, Indonesia telah melakukan pencatatan semua kreditur dalam “credit registries”, dan memperbesar pagu kredit hampir lima kali lipat. Ini tentu akan memudahkan para entrepreneur untuk menambah modal usaha, selain menjaga terhadap risiko pemberian kredit bermasalah. Juga ada perbaikan dalam peng-eksekusi-an kontrak di Indonesia[18].
Walaupun demikian, dalam urutan peringkat Indonesia malah menurun. Dari total 175 negara, Indonesia berada di posisi 135, turun empat peringkat dibandingkan dengan tahun 2006. Dari sini bisa disimpulkan bahwa penerapan governance yang baik di Indonesia sudah mengalami kemajuan. Namun, negara-negara lain tampaknya berlari lebih cepat dibandingkan dengan Indonesia, karena mereka yakin dengan upaya demikian mereka unggul dalam menarik investasi.
Survei ACGA (Asian Corporate Governance Association) tentang praktik corporate governance di Asia juga menyebutkan penerapan indikator CGG di Indonesia semuanya berada di bawah rata-rata. Indikator ini meliputi prinsip dan praktik governance yang baik, penegakkan peraturan, kondisi politik dan hukum, prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan kultur[19].

Dalam laporan itu disebutkan beberapa hal yang baik di Indonesia.
1. Pertama, walaupun kondisi pelaporan keuangan di Indonesia belum memadai, kualitas pelaporan keuangan kuartalan ternyata cukup bagus.
2. Kedua, Indonesia ternyata juga memiliki kerangka hukum yang paling .strict dalam memberikan perlindungan untuk pemegang saham minoritas, khususnya dalam pelaksanaan preemptive rights (hak memesan efek lerlebih dahulu).
3. Ketiga, gerakan antikorupsi yang dilakukan pemerintah telah menunjukkan hasil cukup positif. Ditambah lagi, penyempurnaan Pedoman Unium CGG, dan Pedoman CGG sektor perbankan yang dilakukan di Indonesia. Namun, masih menurut laporan tadi, belum banyak yang percaya bahwa pemerintah cukup serius mendorong penerapannya.
Selanjutnya, seorang pengamat mencoba mengkaji kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia, beliau menyimpulkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan, apabila Indonesia akan menciptakan pemerintahan yang baik, antara lain :

1. Bagaimana relasi antara pemerintah dan rakyat
2. Bagaimana kultur pelayanan publik
3. Bagaimana praktek KKN
4. Bagaimana kuantitas dan kualitas konflik antara level pemerintah
5. Bagaimana kondisi tersebut di provinsi dan kabupaten/kota

Dari kajian yang dilaksanakan, maka ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien dan tidak efektif, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Relasi antara pemerintah dan rakyat berpola serba negara
2. Kultur pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan
3. Patologi pemerintah dan kecenderungan KKN
4. Kecenderungan lahirnya etno politik yang kuat
5. Konflik kepentingan antar pemerintah

F. Upaya-upaya pemerintah dalam menciptakan Good Governance

Dalam rangka mewujudkan Good Governance pegawai negeri sipil merupakan Aparatur Negara, pelaksana kebijakan mempunyai peran yang sangat strategis, diharapkan dapat melaksanakan tugas yang sesuai dengan bidang dan keahlian secara profesional dan bertanggung jawab untuk mengabdi dan melayani masyarakat luas secara adil dan tidak diskriminatif.

Upaya perwujudan kearah good governance dapat dimulai dengan membangun landasan demokrasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dengan melibatkan tiga sektor:

Negara dan pemerintah mempunyai peran dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggaraan kekuasaan untuk memerintah dan membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level lokal maupun internasional dan global.
Sektor swasta, pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi dan system pasar.
Masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik dan ekonomi.

Ketiga sektor tersebut harus sinergi, serasi, seimbang dan saling control, namun fungsi pengaturan dan fungsi administrasi berada pada pemerintah.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, tentang pemerintahan Daerah, yang memuat azas-azas umum pemerintahan yang mencakup:

1. Azas kepastian Hukum, yaitu azas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara.
2. Azas Tertip Penyelenggaraan Negara, adalah azas yang menjadi landasan keteraturan, Keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.
3. Azas Kepentingan Umum, adalah azas yang mendahulukan kesejahtraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Azas Keterbukaan, adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, bersikap jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak azasi pribadi, golongan dan rahasia Negara
5. Azas Proporsionalitas, yaitu azas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.
6. Azas Profesionalitas, azas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Azas Akuntabilitas, adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaaraan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (rakyat) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan Aparatur Negara pelaksana kebijakan pemerintah diharapkan dapat melaksanakan tugas yang sesuai dengan bidang dan keahlian, karena orientasi dari adanya pegawai Negeri Sipil adalah untuk mengabdi dan melayani masyarakat luas, sehingga terwujudnya masyarakat adil, makmur dan sejahtera sesuai dengan harapan bangsa dan Negara. Sehingga pegawai Negeri Sipil dituntut untuk dapat melaksanakan setiap tugas yang diberikan secara profesional dan bertanggung jawab dengan orientasi membangun mayarakat yang mengutamakan kepentingan bersama, dengan demikian menjadi keharusan bagi PNS agar tetap bersih dari korupsi, kolusi dan Nepotisme.

Namun akhir-akhir ini banyak PNS yang tersandung dalam pelaksanaan tugasnya dalam pengelolaan dan penyelenggaraan Negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan Nepotisme sehingga harus berurusan dengan hukum, dan bahkan ada yang dinyatakan bersalah dan harus dijatuhi hukuman, dan ada diantaranya harus diberhentikan secara tidak hormat sebagai PNS sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan ini terjadi pada semua level/tingkatan.

Gerakan Good Governance mulai digelindingkan pada awal tahun 1990-an sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Governant yang dinilai memiliki banyak kelemahan karena meremehkan kekuatan dan minimnya partisifasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, konsep ini masuk ke Indonesia melalui program “Good Governance” yang dipelopori oleh lembaga pendonor seperti Bank Dunia, ADB, IMF dan lain-lain.

Menurut Syamsiar (2006:2). Popularitas” Good Governance” terkait dengan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah, banyak individu dan kelompok masyarakat kecewa dengan ketidak mampuan pemerintah untuk mengatasi masalah sosial pada umumnya.

Permasalahan pembangunan di era reformasi dirasakan semakin sulit dan kompleks sejalan dengan tingkat perkembangan kebutuhan dan kesejahtraan masyarakat. Penyelenggara Negara dituntut agar bersikap terbuka (transparan) akuntabel, bebas dan bersih dari KKN dan dapat melakukan Inovasi.

Gambaran administrasi publik yang bercirikan kepemerintahan yang baik:

1. Akuntabilitas, adanya kewajiban bagi Aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggungjawab dan penanggunggugat atas segala tindakan dan kewajiban yang ditetapkan.
2. Transparansi, Kepemerintahan yang baik bersifat transparan terhadap rakyatnya baik ditingkat pusat maupun daerah
3. Keterbukaan, menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan mengkritik terhadap pemerintahan yang tidak transparan.
4. Aturan Hukum, adanya jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap kebijakan publik yang ditempuh
Untuk mengupayakan terwujudnya kepemerintahan yang baik (Good Governance) telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah terutama terhadap Aparatur Pemerintah, yaitu dengan melakukan “REFORMASI BIROKRASI” Yang dituangkan dalam Intruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004. Tentang percepatan pemberantasan korupsi khususnya dari sisi Pencegahan Korupsi. Kemudian secara umum dengan terbitnya peraturan presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2005. Tentang rencana pembangunan jangkah menengah (RPJM) Nasional tahun 2004-2009. Pada bab 14 telah ditetapkan salah satu agenda pembangunan Nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawah. Dengan MISI mengubah pola/alam pikiran (mind set), pola budaya /kultur (cultur set) dan system manajemen (tata kelola) pemerintahan.

Pola pikir aparatur pemerintah yang selama ini dimata masyarakat cendrung negatif, malas, KKN kurang melayani, tidak produktif, berbuat tidak jujur, sering menyalagunakan kekuasaan dan lain-lain. Hal ini berdampak pada menurunnya kinerja aparatur yang mengakibatkan tidak tercapainya kinerja organisasi.

Pola pikir (mind set) aparatur pemerintah ini tidak boleh dibiarkan berkembang terus, tapi harus segera dilakukan pencegahan dan perubahan, paling tidak pergeseran pola pikir lama yang telah melekat secara perlahan untuk dapat berpikir secara positif, sehingga akan terwujud aparatur pemerintah yang bersih, amanah dan bertanggung jawab.

Adapun bentuk-bentuk perubahan pola pikir tersebut adalah:

1. Prinsip bekerja adalah mencari uang, jabatan, pangkat dan kedudukan dirubah menjadi memiliki prinsif bekerja adalah ibadah.
2. Berpikir linier, berpikir system yaitu dari berpikir hanya memperhatikan faktor-faktor indevenden, kualitas , searah serta memperhatikan sebab akibat dimana semua faktor tersebut sama pentingnya, berpikir system, faktor indevenden, kualitas melingkar dan faktornya tidak sama penting.
3. Pergeseran paradigma berpikir, dari berpikir bagian keberpikir menyeluruh.
4. Pergeseran paradigma dari berpikir objektif keberpikir hubungan.
5. Pergeseran paradigma dari berpikir hirarki ke berpikir jaringan.
6. Pergeseran paradigma berpikir struktur ke berpikir proses.
Seorang pemimpin aparatur harus mempuyai konsep diri yaitu membangun suatu keyakinan dalam diri kita, bahwa bekerja bukan sekedar mancari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi tanamkanlah didalam “Pola Pilir Kita” bahwa sesungguhnya bekerja itu adalah merupakan ibadah, maka hal ini akan memotivasi setiap individu aparatur pemerintah didalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan niat bekerja sebagai ibadah dengan hati yang ihlas, maka akan mendapatkan hasil yang luar biasa yaitu pahala dari Tuhan Yang Maha Esa. Yang bisa kita terimah setiap saad kita bekerja bahkan bisa dilipat gandakan sesuai kehendaknya dan selain itu mendapat imbalan gaji yang diterima setiap bulan. Selain itu sebagai pemimpin aparatur wajib menjalankan tugas secara amanah, karena ketika akan dilantik dalam jabatannya telah mengambil sumpah atas nama Tuhannya masing-masing dan merupakan semua “KOMITMEN DIRI TERHADAP TUHANNYA”

Selain itu aparatur pemerintah juga dituntut didalam menjalankan tugasnya, memiliki prinsip-prinsip antara lain:

1. Bekerja sebagai ibadah
2. Menghindari sikap tidak terpuji
3. Bekerja secara profesional
4. Berusaha meningkatkan kompetensi diri secara terus menerus.
5. Pelayanan dan pengayoman masyarakat, aparatur pemerintah diharapkan dapat memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mampu menjadi pengayom masyarakat jika ada masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
6. Bekerja berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
7. Tidak rentan terhadap perubahan dan terbuka serta bersikap realistis.
Walau untuk melakukan perubahan pola pikir ada faktor-faktor internal yang dapat menghambat perubahan pola pikir seseorang, antara lain:

1. Blok Persepsi, yaitu adanya human memori system, membuat kita mengaharapkan dan mengartikan sesuatu seperti yang ada dalam memori kita
2. Blok Ego, diantaranya adalah kecendrungan selalu menyalahkan orang lain dan merasa dirinya paling sempurnah, tidak dapat melihat kelemahan dirinya, membangun kepercayaan dirinya dengan merendahkan orang lain, mengabaikan tanggung jawab dan memaksa orang lain untuk mengikuti kemauannya, selalu berorientasi pada apa yang saya peroleh, bukan pada apa yang saya berikan.
3. Blok Intelektual, beberapa blok intelektual yang mengganggu perubahan pola pikir diantaranya adalah, berpikir hanya mengandalkan Logika dan berpegang pada pendapatnya sendiri dalam pengambilan keputusan hanya didasarkan logika.
4. Blok Emosi, emosi berasal dari bahasa Yunani Movere yang artinya bergerak, jadi emosi selalu bergerak sesuai dengan stimulusnya, beberapa blok emosi yang mengahambat perubahan pola pikir, diantaranya takut membuat kesalahan, tidak bisa membedakan antara realita dan fantasi.Tidak dapat hidup sekarang, amarah,rasa hawatir yang berlebihan, tidak mampu keluar dari Blok tersebut, dengan memandang secara objektif dan tidak menyadari bahwa kita selalu punya pilihan dalam menentukan reaksi atas suatu pristiwa, sehingga emosi tidak terkendali karena kurangnya kebesaran hati, serta tidak mempunyai rasa empati dan pengahargaan terhadap diri sendiri.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Good governance adalah proses penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara berbagai sumber daya dalam negara, sektor swasta, dan masyarakat.
2. Prinsip-prinsip Dasar Good Governance, yaitu:
a.  Akuntabilitas
b.  Pengawasan
c.  Daya Tanggap
d.  Profesionalisme
e.  Efisiensi dan Efektivitas
f.  Transparasi
g.  Kesetaraan
h.  Wawasan ke depan
i.   Partisipasi
j.   Penegakkan Hukum
3.  Good Governance mengalami perjalanan yang cukup panjang dan penerapannya masih perlu perbaikan.

B. Saran

Penerapan Good Governance di Indonesia maupun di beberapa negara masih perlu adanya evaluasi dan perbaikan demi terselenggaranya kehidupan bernegara yang lebih baik lagi.
Pembuatan makalah Good Governance memerlukan banyak sumber yang mendukung. Banyak sumber yang mencantumkan perbedaan pendapat, namun masih dalam pokok yang sama, maka diperlukan kecermatan dalam memilah materi bagi penulis.
Agar kepemerintahan yang baik (Good Governance) dapat terwujud diperlukan peran serta kita semua, baik sebagai anggota masyarakat, dunia usaha maupun sebagai pemerintah, kita harus membangun suatu keyakinan dalam diri kita, bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi tanamkan didalam “ Pola Pikir Kita” bahwa sesungguhnya bekerja itu merupakan ibadah, maka hal ini akan memotivasi setiap individu aparatur pemerintah di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing.


Daftar Pustaka

Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press. 2009

Farazmand, Ali. Sound Governance, Piliticy and Administrative Innovation. Wastport : Praeger. 2004

Nugroho, D. Riant. Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:Gramedia.  2004

Tangkilisan, Hessel Nogi S. Manajemen Publik. Jakarta: Grassindo. 2005

Ubaidillah, A dan Abdul Rozaq. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press. 2007

Sumber Internet dan Jurnal:

Anonim. Sepuluh Prinsip Good Governance. 2010. http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html. [Diakses pada 20.15 WIB, Jumat, 18 Mei 2018]

Anonim. Ilmu Administrasi Negara. 2013. eJournal. [Diakses pada 13.00 WIB, Jumat, 18 Mei 2018]

Anonim. Pengertian Good Governance menurut Ahli. 2011.http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067. [Diakses pada 16.05 WIB, Jumat, 18 Mei 2018]

Mardoto. Mengkritisi Good Governance di Indonesia. 2009.http://mardoto.com/2009/04/30/suara-mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/. [Diakses pada 21.00 WIB, Jumat, 18 Mei 2018]

Yenny. Prinsip-prinsip Good Governance. 2013. http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/EJOURNAL%20YENNY%20(03-02-13-06-48-29).pdf
[Diakses pada 20.00 WIB, Jumat, 18 Mei 2018]

[1] Anonim, Ilmu Administrasi Negara, 2013, 1 (2):  196-209  hal :3, (eJournal)
[2] Anonim, Pengertian Good Governance menurut Ahli, 2011, (http://kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067)
[3] A. Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCE  UIN Syarif Hidayatullah, 2007), Cet. IV, hal, 215.
[4] Yenny, Prinsip-prinsip Good Governance, vol. 1, 2013, p. 3, (http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/03/EJOURNAL%20YENNY%20(03-02-13-06-48-29.pdf).
[5] Riant D. Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi, (Jakarta:Gramedia, 2004), hal, 216.
[6] Ibid.
[7] Hessel Nogi S. Tangkilisan, Manajemen Publik, (Jakarta: Grassindo,2005), hal, 115.
[8] Ibid, hal, 177.
[9] A. Ubaidillah dan Abdul Rozaq, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2007), hal, 218-228.
[10] Anonim, Sepuluh Prinsip Good Governance, 2010, (http://knkg-indonesia.com/home/news/93-10-prinsip-good-governance.html).
[11] Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta : Gajah Mada Univercity Press, 2009).
[12] Ali Farazmand, Sound Governance, Politicy and Administrative Innovation, (Wastport : Praeger, 2004).
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Mardoto, Mengkritisi Good Governance di Indonesia, 2009, (http://mardoto.com/2009/04/30/suara-mahasiswa-009-mengkritisi-clean-and-good-governance-di-indonesia/)
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.

Lihat Juga PPT (Power Point) tentang Pembahasan  Good Governance atau Government di bawah ini semoga informasi ini yang sobat cari
  • Teori Good Governance atau Good Governmet  bisa sobat Download disini
  • Strategi Memperkuat Good Governance atau Good Governmet  bisa sobat Download disini
  • Good Governance atau Good Governmet  bisa sobat Download disini
  • Good dan Clean Governance atau Good Governmet  bisa sobat Download disini
  • Good Governance atau Good Governmet 1 bisa sobat Download disini
  • Good Governance atau Good Governmet dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia bisa sobat Download disini
  • Good Governance atau Good Governmet dari Bab I sampai dengan Bab V bisa sobat Download disini

Contoh Makalah | PPT Perbandingan Birokrasi

Contoh Makalah | PPT Perbandingan Birokrasi
Contoh Makalah | PPT Perbandingan Birokrasi. Untuk lebih jelasnya pembahasan tentang PPT Perbandingan Birokrasi, bisa sobat Download disini

Lihat juga atau download  materi tentang mata kuliah birokrasi yang lainnya, mudah-mudahan materi yang sobat cari, di bawah ini

  • Materi Birokrasi tentang Patologi Birokrasi Download disini
  • Materi Birokrasi tentang Birokrasi masa depan Download disini
  • Materi Birokrasi tentang Peningkatan Kinerja Aparatur Berbasis Birokrasi Download disini
  • Materi Birokrasi tentang Tantangan Globalisasi dan Birokrasi Indonesia Download disini
  • Materi Birokrasi tentang Konsep Dasar Birokrasi Download disini
  • Materi Birokrasi tentang Etika Pemerintah Birokrasi Download disini
  • Materi Birokrasi tentang Reformasi Birokrasi menuju Good Governance Download disini
  • Pengertian dan teori klasik Birokrasi Download disini
Untuk lebih jelasnya pembahasan tentang PPT Perbandingan Birokrasi, lihat saja di bawah ini

Nah itu saja yang bisa admin sampaikan disini mengenai contoh ppt Perbandingan Birokrasi, semoga bermanfaat.

Contoh Makalah | Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi

Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi
Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi
Contoh Makalah | Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi. Menurut Tanjung dan Ardial (2010:7) makalah adalah karya tulis yang memuat pemikiran tentang suatu masalah topik tertentu yang ditulis secara sistematis dan runtut dengan disertai analisis yang logis dan objektif. Sedangkan, menurut Surakhmad (1988:10) paper atau makalah adalah segala jenis tugas kuliah yang harus diselesaikan secara tertulis, baik sebagai hasil pembahasan buku maupun sebagai hasil karangan tentang sesuatu pokok persoalan.

Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman, bahwa yang dimaksud makalah adalah sebuah karya tulis yang membahas pokok persoalan tertentu dan ditulis secara sistematis serta melalui analisis yang logis dan objektif.

Dalam kesempatan ini admin akan membahas satu contoh makalah tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi, untuk lebih jelasnya lihat di bawah ini
  1. Cover Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi Download disini
  2. Kata Pengantar Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi Download disini
  3. Bab I Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi Download disini
  4. Bab II Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi Download disini
  5. Bab III Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi Download disini
  6. Referensi Makalah Tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi Download disini
Ingin lebih jelasnya silahkan lihat pembahasan tentang contoh makalah yang berjudul Empirisme dalam Filsapat Administrasi di bawah ini

Nah itu saja yang bisa admin sampaikan pada kesempatan ini mengenai beberapa contoh makalah tentang Empirisme dalam Filsapat Administrasi, pada kesempatan ini pula admin beritahukan bahwa contoh makalah ini admin kutip dari makalah yang dibuat oleh kelompok 6 Fisip Uniga mata kuliah Filsapat Administrasi . Semoga informasi ini bermanfaat dan jangan lupa rekan semua berkunjung lagi ke lamannya Contoh Kumpulan Makalah.Terima Kasih

Featured Post

Pos UN Tahun 2019 | Pos UN Tahun Pelajaran 2018/2019 ~ Contoh Kumpulan Makalah

Pos UN Tahun 2019 ~ Pos UN Tahun 2019 | Pos UN Tahun pelajaran 2018/2019 Bisa di Download Disini ATAU Pos UN Tahun 2019 | Pos UN T...

Back To Top