Contoh Makalah | Empirisme dalam Filsafat Administrasi .Makalah ini mengenai Empirisme dalam Filsafat Administrasi. Semoga dapat membantu mencari referensi makalah dan materi kuliah atau sekolah.
Makalah tentang Empirisme dalam Filsafat Administrasi ini bisa menjadi sumber materi bagi kamu yang sedang membutuhkan inspirasi dalam pengerjaan makalah. . Makalah Empirisme dalam Filsafat Administrasi ini dalam format doc, bukan pdf, jadi kamu bisa mengeditnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ada orang yang berkata, bahwa orang harus berfilsafat, untuk mengetahui apa yang disebut filsafat itu. Mungkin ini benar, hanya kesulitannya ialah bagaimana ia tahu, bahwa ia berfilsafat? Mungkin ia mengira sudah berfilsafat dan mengira tahu pula apa filsafat itu, akan tetapi sebenarnya tidak berfilsafat, jadi kelirulah ia dan dengan sendirinya salah pula sangkanya tentang filsafat itu.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu rasionalisme, emperisme, kritisisme, idealisme, positivisme, evolusionisme, materalisme, neo-kantianisme, pragmatisme, filsafat hidup, fenomenologi, eksistensialisme, dan neo-thomisme.
Filsafat pada zaman modern lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Salah satu orang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat adalah Rene Descartes. Descartes menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Teori pengetahuan yang dikembangkan Rene Descartes ini dikenal dengan nama rasionalosme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio (akal) manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme, di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume.
Penemuan kebenaran secara empiris dalam filsafat pun juga terdapat didalam semua ilmu pengetahuan yang ada, khususnya yang akan di bahas dalam makalah ini adalah empirisme dalam filsafat administrasi. Jika kita melihat administrasi merupakan ilmu pengetahuan yang pada dasarnya ada di setiap sendi kehidupan manusia maupun dalam praktek pelaksanaan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mendeskripsikan sebuah tema mengenai “empirisme dalam filsafat administrasi”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dikemukakan pertanyaan masalah (problem question) dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan empirisme?
2. Apa yang dimaksud dengan filsafat administrasi?
3. Bagaimana empirisme dalam filsafat administrasi?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep
Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya
ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah
David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata
bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata
bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman. Sementara menurut
A.R. Lacey berdasarkan akar katanya empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat
bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang
pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas
kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme,
metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu
metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya
kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang
memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah
pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman batin yang menyangkut
pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk
mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
B. Konsep
Filsafat Administrasi
Secara etimologi (Bahasa). Kata ‘filsafat’ berasal
dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Kata philosophia ini dalam bahasa Arab
disebut falsafah, dalam bahasa Inggris disebut philosophy, dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat. Philosophia sendiri terbentuk dari dua kata, yaitu
philo yang artinya cinta dan shophia yang berarti kebijaksanaan. Dengan
demikian, philoshopia atau filsafat, secara etimologi, artinya cinta
kebijaksanaan.
Menurut Masykur Arif Rahman, kata cinta
kebijaksanaan ini mempunyai arti luas. Cinta bisa berarti cita-cita atau
keinginan. Orang yang memiliki cinta atau keinginan akan berusaha menggapai
sesuatu yang ia inginkan, atau akan berusaha meraih yang dicintai. Sedangkan
kebijaksaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian,
yaitu selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya), arif,
cakap, cermat, pandai, dan hari-hati. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kebijaksanaan adalah pengetahuan dan kepandaian yang
mendalam. Jadi, secara sederhana “cinta kebijaksanaan” atau filsafat dapat
dipahami sebagai keinginan untuk mengetahui segala sesuatu secara mendalam.
Adapun pengertian filsafat secara terminologis atau
istilah merujuk pada beberapa pendapat beberapa ahli yang mencoba
mendefinisikan istilah filsafat.
Plato mendefinisikan filsafat adalah pengetahuan
yang berminat mencapai pengetahuan yang asli. Sedangkan Aristoteles memberikan
pengertian filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika (filsafat keindahan).
Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya
masih banyak yang belum dicantumkan, dapat ditarik benang merahnya sebagai
kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada
hakikatnya.
Ilmu administrasi merupakan hasil pemikiran dan
penalaran manusia yang disusun berdasarkan dengan rasionalitas dan sistematika
yang mengungkapkan kejelasan tentang objek formal, yaitu pemikiran untuk
menciptakan suatu keteraturan dari berbagai aksi dan reaksi yang dilakoni oleh
manusia dan objek material, yaitu manusia yang melakukan aktivitas administrasi
dalam bentuk kerjasama menuju terwujudnya tujuan tertentu. Esensi mendasar
objek formal dan material administrasi adalah terciptanya hubungan antara
pengatur dengan yang diatur dalam konteks kerja sama manusia.
Sejalan dengan pembahasan diatas, maka pengertian
filsafat administrasi adalah proses berpikir secara matang, berstruktur, dan
mendalam terhadap hakikat dan makna yang terkandung dalam materi ilmu
administrasi. Memang disadari atau tidak, sesungguhnya ilmu administrasi
memfokuskan diri terhadap aspek manusia, terutama pelaksanaa aktifitas,
dilakukan secara kerjasama. Dalam mewujudkan kerja sama diperlukan kematang
pengaturan dan ketertiban dalam keteraturan agar upaya pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya dapat terwujud dengan baik dan memuaskan dari
seluruh yang terlibat.
Kajian filsafat administrasi masih jarang dijumpai
di berbagai perpustakaann, tetapi yang banyak ditemukan adalah filsafat pada
umumnya. Menurut Makmur bukanlah menjadi hambatan dalam mempelajari filsafat
administrasi, karena administrasi adalah salah satu cabang ilmu yang asal
mulanya bersumber dari filsafat.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Empirisme
1. Pengertian
Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya
ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah
David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata
bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata
bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman Sementara menurut
A.R. Lacey berdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang
berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan
kepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat
bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang
pendapat-pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas
kepastian-kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme,
metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu
metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya
kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang
memadai itu adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah
pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut
pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk
mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
2. Ajaran-ajaran
Pokok Empirisme
Ajaran-ajaran pokok empirisme dalam menemukan
suatu kebenaran dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Pandangan
bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
b. Pengalaman
inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c. Semua
yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d. Semua
pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari
data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
e. Akal
budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa
acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi
mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
f. Empirisme
sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan.
3. Jenis
Emperisme
a. Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang
bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach.
Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep
substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai pengertian apriori.
Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan jumlah
elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini
dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara
sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran
ini juga anti metafisik.
b. Empirisme
Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada
pemecahan-pemecahan problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang
pada pandangan-pandangan berikut:
1) Ada
batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip kesimpulan
induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
2) Semua
proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi
mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada
seketika
3) Pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
c. Empiris
Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua
pengetahuan dapat dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat
dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan
melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan
banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa pernyataan-
pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan
untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untuk keraguan.
Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel
certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada
pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data
inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis
sama sekali.
Metode filsafat ini butuh dukungan metode filsafat
lainnya supaya ia lebih berkembang secara ilmiah. Karena ada
kelemahan-kelemahan yang hanya bisa ditutupi oleh metode filsafat lainnya.
Perkawinan antara Rasionalisme dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam
metode ilmiah dengan langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan
kerangka berpikir, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan
kesimpulan.
4. Tokoh-tokoh
Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon
(1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada
dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
a. John
Locke (1673-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat
tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran.
Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human
understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun
1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini
muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme
mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah
pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat
Locke :
“ Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi,
bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru
melalui pengalamanlah kertas itu terisi.”
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah
(yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari
empiri).
b. David
Hume (1711-1776)
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711
dan wafat tahun 1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum,
sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry concercing humen
understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the principles of moral
yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam
ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my self at any time with out a
perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya). Dari
ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun
dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah
dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu
melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang
disistematiskan) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran
Hume ini merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama
dalam pemunculan ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan (observasi)
dan uji coba (eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian
pengertian-pengertian dan akhirnya pengetahuan.
Empirisme menganjurkan agar kita kembali kepada
kenyataan yang sebenarnya (alam) untuk mendapatkan pengetahuan, karena
kebenaran tidak ada secara apriori di benak kita melainkan harus diperoleh dari
pengalaman. Melalui pandangannya, pengetahuan yang hanya dianggap valid adalah
bentuk yang dihasilkan oleh fungsi pancaindra selain daripadanya adalah bukan
kebenaran (baca omong kosong). Dan mereka berpendapat bahwa tidak dapat dibuat
sebuah klaim (pengetahuan) atas perkara dibalik penampakan (noumena) baik
melalui pengalaman faktual maupun prinsip-prinsip keniscayaan. Artinya dimensi
pengetahuan hanya sebatas persentuhan alam dengan pancaindra, diluar
perkara-perkara pengalaman yang dapat tercerap secara fisik adalah tidak valid
dan tidak dapat diketahui dan tidak dianggap keabsahan sumbernya.
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang
bersifat, mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan
terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat
tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan din kepada pengalaman manusia,
dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak tersebut.
Doktrin empirisme merupakan contoh dan tradisi ini. Kaum empiris berdalil bahwa
adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua
segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk
rneningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun
lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah
sistern pengetahuan yang rnempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun
kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan
manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk
meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “Tunjukkan
hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan
oleh pengalamannya sendiri. Jika kita meng takan kepada dia bahwa ada seekor
harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menceriterakan
bagairnana kita sampai pada kesimpulan itu. Jika kemudian kita terangkan bahwa
kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau
mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan menerima
hal tersebutjika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita
ajukan, denganjalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.
Dua aspek dan teori empiris terdapat dalam contoh
di atas tadi. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui dan yang
diketahui. Yang mengetahui adalah subyek dan benda yang diketahui adalah obyek.
Terdapat alam nyata yang terdiri dan fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh
seseorang. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dan fakta atau obyek
didasarkan kepada pengalaman manusia. Agar berarti bagi kaum empiris, maka
pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.
5. Telaah
Kritis atas Pemikiran Filsafat Empirisme
Meskipun aliran filsafat empirisme memiliki
beberapa keunggulan bahkan memberikan andil atas beberapa pemikiran
selanjutnya, kelemahan aliran ini cukup banyak. Prof. Dr. Ahmad Tafsir
mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, yaitu:
1) Indera
terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak. Keterbatasan kemampuan
indera ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya.
2) Indera
menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan
dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3) Obyek
yang menipu, conthohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu sebenarnya tidak
sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas
dapat menimbulkan pengetahuan inderawi salah.
4) Kelemahan
ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sisi
meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau juga
tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Metode empiris tidak dapat diterapkan dalam semua
ilmu, juga menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai lingkup
khasnya dan tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan
menggunakan analisis filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan
bahwa benda terdiri atas timbuanan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi
suatu makhluk hidup, apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan
manusia. Di sisi lain seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman
inderawi seperti hal-hal yang immaterial.
B. Filsafat
Administrasi
1. Pengertian
Filsafat Administrasi
Secara etimologi (Bahasa). Kata ‘filsafat’ berasal
dari bahasa Yunani, yaitu philosophia. Kata philosophia ini dalam bahasa Arab
disebut falsafah, dalam bahasa Inggris disebut philosophy, dan dalam bahasa
Indonesia disebut filsafat. Philosophia sendiri terbentuk dari dua kata, yaitu
philo yang artinya cinta dan shophia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian,
philoshopia atau filsafat, secara etimologi, artinya cinta kebijaksanaan.
Menurut Masykur Arif Rahman, kata cinta
kebijaksanaan ini mempunyai arti luas. Cinta bisa berarti cita-cita atau
keinginan. Orang yang memiliki cinta atau keinginan akan berusaha menggapai
sesuatu yang ia inginkan, atau akan berusaha meraih yang dicintai. Sedangkan
kebijaksaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian,
yaitu selalu menggunakan akal budi (pengalaman dan pengetahuannya), arif,
cakap, cermat, pandai, dan hari-hati. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kebijaksanaan adalah pengetahuan dan kepandaian yang
mendalam. Jadi, secara sederhana “cinta kebijaksanaan” atau filsafat dapat
dipahami sebagai keinginan untuk mengetahui segala sesuatu secara mendalam.
Adapun pengertian filsafat secara terminologis
atau istilah merujuk pada beberapa pendapat beberapa ahli yang mencoba
mendefinisikan istilah filsafat. Plato mendefinisikan filsafat adalah
pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan yang asli. Sedangkan Aristoteles
memberikan pengertian filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran
yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan).
Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya
masih banyak yang belum dicantumkan, dapat ditarik benang merahnya sebagai
kesimpulan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu yang ada secara mendalam dengan mempergunakan akal sampai pada
hakikatnya.
Sejalan dengan pembahasan diatas, maka pengertian
filsafat administrasi adalah proses berpikir secara matang, berstruktur, dan
mendalam terhadap hakikat dan makna yang terkandung dalam materi ilmu
administrasi. Memang disadari atau tidak, sesungguhnya ilmu administrasi
memfokuskan diri terhadap aspek manusia, terutama pelaksanaa aktifitas,
dilakukan secara kerjasama. Dalam mewujudkan kerja sama diperlukan kematang
pengaturan dan ketertiban dalam keteraturan agar upaya pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya dapat terwujud dengan baik dan memuaskan dari
seluruh yang terlibat.
2. Ontologi
Administrasi
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang “yang ada”. “Yang ada” disini memiliki pengertian yaitu pertama, istilah
ini menunjuk terhadap apa-apa yang benar-benar ada di dunia, baik “yang ada”
sebagai kenyataan, yang tampak di depan mata ataupun dapat dicerap oleh
pancaindera.
Pemikiran ontologi dalam administrasi tentunya
diawali dari pembuktian, atau dengan kata lain penyelidikan yang dilakukan
secara sadar dan mendalam sampai ke akar permasalahan yang sesungguhnya dan
dapat diberlakukan kapan dan dimana saja serta relatif fundamental kandungan
kebenarannya. Ontologi ilmu administrasi mencari pengertian menurut asal mula
dan akar kata yang paling terdalam.
Dengan kata lain, ontologi administrasi adalah
pemikiran yang berdasarkan hakikat dan makna yang dikandung ilmu administrasi
itu sendiri sebagai salah satu cabang ilmu administrasi.
a. Kedudukan
Ontologi Administrasi
Kedudukan ontologi administrasi adalah merupakan
pangkal dasar dalam pengembangan pemikiran terhadap pembenaran dan kebenaran
yang dikandung oleh ilmu administrasi itu sendiri.
Ontologis ilmu administrasi bercorak total
daripada hal-hal yang bercirikan abstraksi dan konkret. Ontologi ilmu
administrasi yang bercirikan asbtraksi karena hanya berada dalam pikiran
manusia yang sifatnya sangat tidak terbatas dan jangkauannya hanya dapat
dijangkau akal pikiran. Sedangkan ontologi administrasi yang bercirikan konkret
karena memang dapat diamati langsung oleh pancaindra manusia dan hasilnya
secara langsung dapat dinikmati.
b. Metode
Ontologi Administrasi
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam
ontologi administrasi diperlukan metode berpikir yang bekerja cepat dan tepat.
Dengan demikian, ontologi administrasi senantiasa menanyakan sesuatu yang telah
dimengerti atau dikenal, karena pertanyaan adalah bagian dari nalar sebagai
produk pemikiran manusia.
Pemahaman ontologi ilmu administrasi senada dengan
keinsafan manusia terhadap dirinya sendiri sebelum melaksanakan berbagai
aktiftasnya. Segala perkembangan, baik pada diri sendiri manusia ataupun pada
bidang ilmu administrasi telah termuat dalam batas-batas kemampuan kedua hal
tersebut, tidak akan dapat melampauinya. Yang ada di luar batasannya tidak akan
dapat dipertanyakan, karena memang bukan batas dalam pikiran manusia di bidang
administrasi.
c. Potensi
Ontologi Administrasi
Dengan spontanitas, dapat dikatakan bahwa potensi
ontologi ilmu administrasi adalah pemikiran manusia terhadap isi dunia ini.
Pada hakikatnya, tidak ada halangan atau hambatan bagi para ilmuwan
administrasi dimana saja dan kapan saja untuk melakukan tindakan dan pemikiran
tentang penciptaan pengaturan dan keteraturan itu secara optimal. Segala jenis
bipolaritas yang mensyaratkan terciptanya pengaturan dan keteraturan dalam ilmu
administrasi menunjukan adanya kemungkinan, dan bahkan keinginan akan
integritas secara maksimal.
Kewajiban para ilmuwan administrasi dalam rangka
berpikir, berdasarkan pemikiran ontologi secara kebenaran transidental dan
kebenaran empirikal, terletak pada struktur penalaran setiap ilmuwan
administrasi. Jikalau terjadi kekurangan harmoni, kekurangan kebenaran, dan
kebaikan, maka hal itu bukanlah muncul dari hakikat ontologi ilmu administrasi,
tetapi merupakan suatu kejadian entah karena alasan apa dan kenyataan selalu
ada, sepanjang masih ada yang ada.
d. Normatif
Ontologi Administrasi
Keberadaan hakikat kandungan normatif ontologi
administrasi secara transidental dan empirikal sesungguhnya dapat dibedakan
atas dua aspek utama. Kebenaran adalah keharmonisan dan sintesis yang maksimal
dalam hal pemberian pengertian atau pemahaman terhadap ontologi ilmu
administrasi, dan kedua, kebaikan adalah keharmonisan dalam hal penilaian dan
pilihan nilai terhadap ontologi ilmu administrasi.
Namun, kebenaran dan kebaikan ontologi ilmu
administrasi dalam kehidupan dan penghidupan manusia bukanlah dua hal yang
berdampingan saja, tetapi merupakan suatu bipolaritas struktur dalam pemikiran
manusia itu sendiri. Kebenaran dan kebaikan senantiasa selalu dalam kesejajaran
dan seukuran.
e. Positivisme
Administrasi
Aliran positivisme dalam ilmu administrasi pada
dasarnya berpangkal dari hati nurani manusia yang memancarkan kebenaran.
Pancaran kebenaran hati nurani ini diproses dalam pemikiran dengan
menghubungkan realita konkret maupun realita abstraksi tentang fenomena atau
nomena administrasi, yang selanjutnya dipersepsikan melaluis suatu argumentasi.
f. Rasionalisme
Administrasi
Rasionalisme administrasi adalah suatu metode yang
digunakan untuk memperoleh pengetahuan di bidang administrasi. Paham
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan berasal dari akal pikiran.
Disamping itu, aliran rasionalisme, tidak mengingkari adanya pengalaman, tetapi
pengalaman itu menjadi perangsang terhadap proses pemikiran. Descartes, sebagai
pelopor aliran rasionalisme, senantiasa berusaha menemukan suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi sehingga
mengantarkan manusia kepada cahaya terang.
3. Epistemologi
Ilmu Administrasi
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme
dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos
diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat
diartikan teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of
knowledge.
Secara istilah, epistemologi adalah bagian
filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan.
Ilmu pengetahuan di bidang administrasi adalah
suatu pernyataan terhadap materi atau konten, bentuk atau form, serta objek
formal dan materiilnya. Secara epistemologi, ilmu administrasi cenderung untuk
membatasi diri pada hal-hal tentang persepsi dan pemahaman intelektual
seseorang. Pengetahuan ilmu administrasi dapat membawa manusia kepada peristiwa
kesadaran dari dari seluruh pemaknaan yang dikandung ilmu administrasi itu
sendiri.
a. Objektivisme
Administrasi
Hakikat dasar dari pengetahuan administrasi
manusia mensyaratkan adanya makna apriori (kebenaran dasar) sebagai realita
fundamnetal dan tidak relatif, sedangkan kebenaran realita yang telah mengalami
perubahan dari nilai dasar dan kebenaran relatif tertuang dalam hakikat
aposteriori. Berpikir apriori dalam ilmu administrasi merupakan salah satu
kajian dari konsep objektivisme, dengan bermuara kepada rasionalisme yang dalam
perkembangannya mengalami tiga tahapan proses berpikir manusia dalam bidang
ilmu administrasi. Pertama, kesadaran objek administrasi itu sendiri. Kedua,
kesadaran bahwa adanya perbedaan penalaran terhadap objek administrasi. Ketiga,
pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antarberbagai entitas, baik perbedaan
maupun persamaannya.
Penelusuran objektivitas pemikiran dalam
administrasi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang
objek materialnya, adalah sesuatu yang menjadi sasaran perhatian secara detail
tentang makna kandungan penalaran dalam pemikiran manusia yang mempelajari ilmu
administrasi. Kedua, dari sudut pandang objek formalnya, bahwa ilmu
administrasi memiliki ruang lingkup kajian dengan metode yang jelas.
b. Subjektivisme
Administrasi
Fenomena sosial menunjukan bahwa pemikiran
subjektivisme telah berada di semua lini kehidupan, baik kehidupan birokrasi,
pengusaha, maupun kehidupan sosial kemasyarakatan, semuanya menghendaki
keadilan, tetapi yang dirasakan adalah ketidakadilan. Karl Marx memberikan
argumentasi tentang rasa keadilan dengan pembagian sesuatu “ambillah
masing-masing menurut kemampuannya” dan “berilah masing-masing menurut
kebutuhannya”.
c. Skeptisisme
Administrasi
Skeptisisme adalah suatu kondisi atau perasaan
yang dialami seseorang akibat tidak terpenuhinya sesuatu yang diinginkan.
Akar permasalahan terjadinya skeptisisme rupanya
menunjukan jenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh para birokrasi
bersangkutan sebagai pengelola administrasi negara yang berdampak negatif ,
dimana kepercayaan publik semakin berkurang dan kecurigaan semakin bertambah.
4. Aksiologi
Administrasi
Aksiologi membahas tentang nilai dalam kehidupan
manusia. Aksiologi mencakup dua cabang filsafat yang terkenal yaitu etika dan
estetika. Etika membahas hal buruk dan baik perbuatan manusia, dan estetika
membicarakan tentang keindahan.
Aksiologi ilmu administrasi adalah suatu usaha
yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam angka pemanfaatan, atau dengan
kata lain penerapan ilmu administrasi yang teratur dan produktif. Ilmu
administrasi yang dimanfaatkan secara positif memungkinkan manusia lebih
leluasan untuk berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungannya,
demikian juga bahwa ilmu administrasi dapat meningkatkan martabat manusia.
Karena dengan memanfaatkan kebenaran ilmu administrasi akan semakin teruji
kualitasnya serta semakin tampak bahwa ilmuwan administrasi sebagai makhluk
yang termulia di muka bumi ini.
C. Empirisme
dalam Filsafat Administrasi
Fenomenologi pada hakeketnya adalah bagian dari
pemikiran eksistensialisme, memberikan kebeneran bahwa para pemikir filsafat
tentang individu dalam kerjasama manusia sehingga menciptakan keteraturan,
pengaturan, kepemerintahan adalah hasil pengembangan filsafat rasionalisme.
Konsep administrasi dirumuskan sebagai kerjasama manusia secara rasional untuk
mencapai tujuan bersama. Perkembangan pemikiran filsafat memunculkan filsafat
yang mempersoalkan gejala yang nyata dan konkrit.
1. Tradisional
Empirisme
Gejala yang dipersoalkan filsafat merupakan
sesuatu yang terjadi sesungguhnya dan ada dalam kenyataan yang
didasarkan pada pertimbangan fakta, paham filsafat ini disebut empirisme.
Awalnya, pandangan ini merupakan pandangan tradisional oleh kelompok pemikir
dari eropa barat yaitu great tradition
atau tradisi besar. Pemikiran ttradisi empiris dikembangkan oleh John Locke dan
David Hume. Menurut Locke pada waktu seorang bayi lahir, akalnya seperti papan
tulis yang kosong atau film kamera yang merekam kesan-kesan dari luar. Dari
pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pengetahuan hanya berasal dari
indera. Dengan pemikiran dan ingatan perasaan inderawi dapat diatur menjadi
bermacam-macam cabang pengetahuan . Pemikiran locke memberikan penegasan bahwa
pengetahuan sesuatu hal adalah berasal dari indera,yaitu dari hasil apa yang
dilihat sebagai sesuatu yang factual . Dari sisi epistemology , fakta yang
ditangkap oleh indera untuk kemudian diolah oleh pemikiran adalah menjadi
sumber pengetahuan yang berasal dari dunia pengalaman atau yang disebut dunia
empiris . Menurut David Hume ide sederhana adalah copy dari perasaan-persaan
yang sederhana sedangkan ide yang kompleks merupakan gabungan dari ide sederhana
atau kesan-kesan yang kompleks.Hume mengingkari adanya pemikiran konseptual
yaitu suatu pemikiran yang disusun akal semata dan disusun atas dasar nilai
yang dikehendaki . dengan demikian , Hume berpikir secara realitis bahwa apapun
idea tau gagasan yang muncul dari pemikiran seseorang dalah penggambaran dari
perasaan-perasaan yang dialaminya yang berlangsung secara sederhana. Dengan
demikian administrasi sebagai kerjasama manusia yang didasarkan atau
pertimbangan rasio adalah sesuatu yang
konseptual , abstrak dan hanya ada dalam pemikiran . Adanya bukan sesuatu fakta yang dapat diamati dan
dipelajari,tetapi sekedar sesuatu nilai yang diinginkan. SehinggaIlmu
administrasi digolongkan sebagai Ilmu praktik bukan seni . Aktualisasi dari
abstraksi administrasi adalah pada bentuk kerjasama yang disebut organisasi dan
manajemen sebagai hasil karyanya. Didalamnya terjalin suatu hubungan kerjasama
yang berlangsung secara interaktif dalam batas hierakis dalam rangka mencapai
tujuan bersama. Sangat dimungkinkanya pertimbanngan tradisi empirisme atau
pertimbangan factual terhadap administrasi menempatkan administrasi sebagai
ilmu pengetahuan yang teoritikal atau yang dibangun berdasarkan fakta-fakta
yang dapat menjawab permasalahan .
2. Pemikiran
Positivisme
Filsafat Emprisme adalah pemikiran positivisme
yang berkembang setelah tradisi empiris menjadi perbincangan para filosof.
Terjadinya kecenderungan pemikiran yang didasarkan pada persepsi dan
penyelidikan sains objektive serta kecenderungan menghilangkan pandagan
metafisik telah membawa pada pemikiran aliran positivisme yang didirikan oleh
auguste comte. Dalam bukunya Ia membagi sejarah manusia kepada tiga periode,
masing-masing dengan ciri khas dalam cara berfikir. Periode pertama, periode
teologi dimana imajinasi berpengaruh besar dengan control atau campur tangan
roh dan dewa-dewa yang dijelaskan dengan istilah animisme dan supernatural.
Periode kedua, periode metafisik, kejadian-kejadian dijelaskan dengan cara
abstrak. Sebab-sebab, prinsip-prinsip, dan substansi-substansi. Periode ketiga,
yaitu periode terakhir dan tertinggi adalah periode positif, yaitu periode
penyelidikan ilmiah yang tidak mengarah lebih jauh dari fakta yang dapat
diamati dan diukur.
Ilmu administrasi secara konseptual dirumuskan
berdasarkan pertimbangan rasional tentunya diarahkan pada nilai yang
dikehendaki. Penyelidikan dengan pertimbangan rasionalitas juga adalah
penyelidikan, tetapi penyelidikannya disebut rasional-empiris, yaitu menguji
berbagai ide, pemikiran, koinsep atau teori dalam dunia yang nyata (empiris),
dunia ilmu administrasi.
Jika ilmu administrasi dilakukan penyelidikan atas
gejala-gejala yang nyata dan konkrit terjadi seperti oirganisasi dan
manajemennya yang bersentuhan dengan keperilakuan individu atau lingkungan,
kekuasaan, ataupun tuntutan perubahan lingkungan dalam berbagai konteksnya, maka atas
gejala-gejala yang tampak secara nyata dan konkrit sebagai fakta yang dapat
dilakukan penyelidikan secara ilmiah dengan hasil yang dapat dipastikan akan
dapat mengubah suatu kondisi material atau masyarakat.
Pemikiran positifisme lainnya adalah pemikiran
logika yang dikembangkan oleh kelompok wina. Pemikiran mereka didasarkan pada
empirisme menunjukkan kecenderungan anti metafisik, antispekulatif, dan mereka
sangat realistis dan materialistic, kritis dan skeptic. Para pemikir logika
analisis berpendirian bahwa suatu pernyataan itu “berarti” jika ia dapat
buktikan kebenarannya secara empiris atau jika pernyataan itu hanya mengenai
baghaimana kita memakai istilah. Pernyataan yang tidak didasarkan pada
pengalaman adalah pernyataan yang nonsense.
The first order menyangkut pertanyaan apa yang
terjadi di dunia, sedangkan second order menyangkut pertanyaan tentang
pemikiran kita sewaktu menjawab pertanyaan pertama atau cara yang digunakan
dalam menyatakan pemikiran itu. Filsafat logika analisis menitikberatkan pada
pertanyaan second order.
Penelitian dilakukan atas realitas yang terjadi
dalam penyelenggaraan administrasi dalam kurun waktu tertentu. Dari hasil
penelitian ditemukan sejumlah fakta. Fakta-fakta tersebut setelah
diidentefikasi paling sedikit 2 variabel, yaitu variabel yang mempengaruhi
sistem dan dipengaruhi oleh sistem. Melalui pembuktian hasil penelitian,
ternyata sistem kekuasaan akan membentuk polarisasi kekuasaan inilah yang
disebut teori yang dibentuk secara empiris.
Polarisasi tersebut berawal dan didominasi oleh
pihak yang diperintah yang secara kelembagaan dilakukan oleh bidang legislatif.
Pemikiran positivisme inilah yang memberikan kedudukan bahwa ilmu administrasi
adalah ilmu teoritika.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas mengenai “empirisme
dalam filsafat administrasi”, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Empirisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan
berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah
membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di
Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John
Locke. Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman lahir yang
menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut pribadi manusia.
Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas untuk mengatur dan mengolah
bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui pengalaman.
2. Sejalan
dengan pembahasan diatas, maka pengertian filsafat administrasi adalah proses
berpikir secara matang, berstruktur, dan mendalam terhadap hakikat dan makna
yang terkandung dalam materi ilmu administrasi. Memang disadari atau tidak,
sesungguhnya ilmu administrasi memfokuskan diri terhadap aspek manusia,
terutama pelaksanaa aktifitas, dilakukan secara kerjasama. Dalam mewujudkan
kerja sama diperlukan kematang pengaturan dan ketertiban dalam keteraturan agar
upaya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat terwujud dengan
baik dan memuaskan dari seluruh yang terlibat.
3. Ilmu
administrasi secara konseptual dirumuskan berdasarkan pertimbangan rasional
tentunya diarahkan pada nilai yang dikehendaki. Penyelidikan dengan
pertimbangan rasionalitas juga adalah penyelidikan, tetapi penyelidikannya
disebut rasional-empiris, yaitu menguji berbagai ide, pemikiran, koinsep atau
teori dalam dunia yang nyata (empiris), dunia ilmu administrasi. Jika ilmu administrasi dilakukan penyelidikan
atas gejala-gejala yang nyata dan konkrit terjadi seperti oirganisasi dan
manajemennya yang bersentuhan dengan keperilakuan individu atau lingkungan,
kekuasaan, ataupun tuntutan perubahan lingkungan dalam berbagai konteksnya, maka atas
gejala-gejala yang tampak secara nyata dan konkrit sebagai fakta yang dapat
dilakukan penyelidikan secara ilmiah dengan hasil yang dapat dipastikan akan
dapat mengubah suatu kondisi material atau masyarakat.
B. Saran
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
empirisme merupakan salah satu metode atau cara memperoleh kebenaran dalam
filsafat administrasi, sehingga bisa memberikan manfaat dapat dilakukan saran
sebagai berikut:
1. Para
pejabat atau administrator hendaknya dalam mengimplementasikan filsafat
admininistrasi melalui cara empirisme harus diperhatikan pengalaman-pengalaman
yang benar-benar menyentuh terhadap seluruh aspek kehidupan dalam bernegara
yang engatur secara rinci bagaimana ketertiban dalm penyelenggaraan administrasi
negara yang ada.
2. Para
masyarakat harus mematuhi peraturan administrasi yang ada dan dapat
menyampaikan aspirasi yang ada sesuai dengan pengalaman dalam bernegara
mengenai pengadministrasian.
REFERENSI
Ali faried, Filsafat Administrasi, Raja Grafindo,Persada, Jakarta, 2004.
Majid Abdul. (2012). Filsafat
Administrasi. [Online]. Tersedia: http//anonymousdx.blogspot.co.id. [8Mei
2018].
Makmur, Filsafat Administrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2012.
Siagian, Sondang P. Filsafat Administrasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2014.
Labels:
Makalah
Thanks for reading Contoh Makalah | Empirisme dalam Filsafat Administrasi. Please share...!
0 Comment for "Contoh Makalah | Empirisme dalam Filsafat Administrasi"